Selasa, 01 Juni 2010

MENGELOLA SAMPAH KOTA: Tidak Harus Dengan Mengimpor Teknologi ?Sampah?

Sampah. Bagian yang selalu luput dari perhatian banyak pihak. Padahal banyak hal yang harus diperbuat dalam menjadikan sampah tak selalu menjadi masalah. Masih belum lama berlalu peristiwa kekerasan di bulan November 2004 yang dilakukan oleh aparat kepada masyarakat Bojong, yang melakukan penolakan atas beroperasinya Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bojong oleh PT Wira Guna Sejahtera. Penolakan yang dilakukan oleh masyarakat Bojong diakibatkan telah terjadi pembohongan publik yang dilakukan pengelola dan pemerintah, dimana lokasi TPST tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Kota Bogor, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan untuk pendirian pabrik keramik, serta dalam beberapa kali ujicoba, ternyata proses pengangkutan dan pengolahan telah menimbulkan bau yang sangat menyengat.

Beralih ke kota Samarinda, ternyata permasalahan pengelolaan sampah merupakan bahaya laten yang hingga saat ini masih menyimpan percik api yang sewaktu-waktu dapat menjadi bara bahkan api. Samarinda dengan jumlah penduduk 579.933 jiwa, memiliki sampah sebanyak 1.406 m3 perharinya dengan jumlah yang tidak terangkut mencapai 140,6 m3 setiap harinya. Bahkan Walikota Samarinda pun hanya bisa tersayat hati tanpa berbuat apa-apa melihat sungai telah menjadi tempat sampah alternatif.

Banyak hal yang tidak mampu diselesaikan oleh pemerintah kota selama ini dalam mengatasi permasalahan sampah. Dihilangkannya 256 tempat penampungan sementara (TPS) oleh Dinas Kebersihan, Pertamanan dan Pemakaman (DKPP) Kota Samarinda hanya mengalihkan lokasi permasalahan pengelolaan sampah. Sementara itu, masih belum satu titikpun dilakukan peningkatkan pengetahuan dan keterampilan warga kota untuk melakukan pengelolaan sampah di tingkat rumah tangga.

Tiga buah tempat pembuangan akhir (TPA) sampah kota Samarinda pun hingga saat ini masih menggunakan pola menghamparkan sampah di lahan terbuka tanpa dilakukan penutupan lagi dengan tanah (open dumping). Saat ini lokasi TPA sampah pun telah menimbulkan keresahan terhadap masyarakat yang ada di sekitarnya, selain juga telah mengganggu keindahan kota.

Samarinda sendiri telah memiliki peraturan daerah yang mengatur tentang penertiban sampah dan kebersihan lingkungan, serta SK Walikota berkaitan dengan penentuan waktu pembuangan sampah di TPS, namun sepertinya masih belum mampu mengatasi permasalahan pengelolaan sampah. Lemahnya pengawasan yang dilakukan, hingga tidak adanya peningkatan pengetahuan di tingkat masyarakat, akhirnya bermuara pada semakin tidak sehatnya hidup di kota Samarinda.

Hal ini nampaknya juga akan diperparah dengan masuknya teknologi pengolahan sampah yang dikenal dengan sebutan insinerator. Insinerator sebenarnya merupakan teknologi yang sudah tidak lagi dipergunakan di negara maju. Namun sayangnya, informasi yang diberikan oleh distributor teknologi ini di Indonesia sangat tidak memadai, sehingga terkadang para pengambil keputusan di pemerintah terbuai dengan dampak positifnya saja, dan melewatkan dampak negatif dari teknologi ini.

Insinerator, ternyata bukanlah teknologi yang ramah lingkungan. Global Anti-Incinerator Alliance (GAIA) menyampaikan bahwa Insinerator adalah suatu metoda yang tidak berkelanjutan dan kuno dalam penanganan sampah. Dalam proses insinerasi sampah, terdapat banyak polutan yang dilepaskan, baik ke udara maupun ke media lainnya. Dioxin adalah polutan yang paling terkenal berbahaya yang dihasilkan dari proses insinerator. Dioxin dapat menyebabkan gangguan kesehatan secara luas, termasuk kanker, kerusakan sistem kekebalan, reproduksi, dan permasalahan-permasalahan dalam pertumbuhan. Secara umum, insinerator merupakan sumber dioxin yang utama.

Lebih lanjut GAIA menjelaskan bahwa insinerator juga merupakan sumber utama pencemaran Merkuri. Merkuri merupakan racun saraf yang sangat kuat, yang dapat mengganggu sistem motorik, sistem panca indera dan kerja sistem kesadaran. Selain itu, insinerator juga merupakan sumber utama polutan-polutan logam berat, seperti timah (Pb), kadmium (Cd), arsen (As) dan kromium (Cr). Polutan-polutan lain yang dihasilkan dari insinerator yang juga perlu diperhatikan antara lain adalah senyawa?senyawa hidrokarbon-halogen (non-dioxin), gas-gas penyebab hujan asam, partikulat-partikulat yang dapat mengganggu fungsi paru-paru, dan gas-gas efek rumah rumah kaca. Namun demikian, klasifikasi polutan-polutan yang dihasilkan insinerator masih belum lengkap, dan masih banyak lagi senyawa-senyawa yang belum teridentifikasi dalam bentuk emisi dan abu di udara.

Distributor teknologi insinerator sering mengklaim bahwa emisi-emisi udara ?dapat dikendalikan??, tapi fakta menunjukkan hal yang berbeda. Untuk polutan-polutan seperti dioxin sudah tidak diijinkan adanya peningkatan emisi dan pengawasan terhadap emisi-emisi tersebut tidak proporsional dan banyak melenceng. Selain itu, data yang ada menunjukkan bahwa insinerator bahkan tidak mampu memenuhi baku mutu peraturan yang ada sekalipun.

Insinerator juga seringkali dianggap sebagai penghasil energi, karena dipandang mampu membangkitkan listrik. Bagaimanapun, analisis siklus -hidup yang rinci menunjukkan bahwa ternyata insinerator membuang energi lebih besar dibandingkan dengan energi yang dihasilkannya. Hal ini disebabkan karena material yang diinsinerasi harus diganti dengan material atau produk baru. Ekstraksi dan memproses bahan-bahan dasar, dan membuatnya menjadi produk-produk baru memerlukan lebih banyak energi ?dan menyebabkan dampak negatif bagi lingkungan yang lebih besar? dibandingkan dengan pemanfaatan ulang, atau memproduksinya kembali dari material daur ulang.

Bilapun selalu dinyatakan bahwa banyak negara telah menggunakan insinerator, namun kenyataannya Amerika Serikat telah menutup dan membatalkan lebih dari 300 pengelolaan sampah kota yang menggunakan insinerator, sementara Jepang sebagai negara peringkat pertama pengguna insinerator malah juga telah menutup 500 tempat pengelolaan sampah yang menggunakan insinerator. Pertanyaan berikutnya, apakah kota Samarinda masih mau mengambil teknologi ?sampah?? dalam pengelolaan sampah?

Yang utama dalam memilih teknologi pengolahan sampah adalah dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dini (precautionary principle), dimana perlunya menerapkan kehati-hatian dalam menghadapi ketidakpastian teknologi; prinsip pencegahan (preventive principle), yang menekankan bahwa mencegah suatu bahaya adalah lebih baik daripada mengatasinya; prinsip demokrasi (democratic principle), dimana semua pihak yang dipengaruhi keputusan-keputusan yang diambil, memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan-keputusan, serta; prinsip holistik (holistic principle), dimana perlunya suatu pendekatan siklus-hidup yang terpadu untuk pengambilan keputusan masalah lingkungan.

Lalu bagaimana melakukan pengelolaan sampah di kota Samarinda dengan semakin tingginya bahaya sampah, dimana bukan tidak mungkin Samarinda akan menjadi kota sampah? Ada beberapa langkah penting yang harusnya mulai dilakukan, yaitu dengan mengurangi sumber-sumber sampah. Pemerintah harusnya mulai mendorong para produsen untuk mengurangi penggunaan kemasan berlebih yang dapat meningkatkan jumlah sampah. Selain itu, di tingkat distributor (penyalur ataupun pengecer), juga memulai mengurangi jumlah pembungkus barang yang dibeli oleh pembeli. Sementara di tingkat konsumen sudah harus memulai mengurangi penggunaan kantong plastik untuk membawa barang belanjaan.

Di tingkat rumah tangga, harus dilakukan peningkatan pengetahuan berkaitan dengan pengelolaan sampah rumah tangga, diantaranya untuk mengolah sampah organik, serta melakukan pemilahan sampah. Dan bila memungkinkan, materi pengelolaan sampah dapat dijadikan salah satu bagian dari proses pembelajaran di sekolah, sehingga dapat semakin memperkaya pengetahuan pelajar, yang harapannya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pemerintah harusnya dapat lebih berperan untuk menguatkan industri kecil daur ulang. Di Samarinda sendiri terdapat beberapa industri daur ulang, namun belum memperoleh dukungan serius dari pemerintah kota. Industri kecil daur ulang ini bukan tidak mungkin akan menjadi sebuah ruang baru bagi pencari kerja di kota Samarinda, serta bisa memberikan nilai efek ekonomi bagi masyarakat lainnya. Interaksi antara rumah tangga, kelompok pemulung, pengelola industri daur ulang, akan menjadi sebuah titik bangkitnya gerakan ekonomi rakyat, dimana terjadi hubungan yang saling menguntungkan antar pihak. Selain itu, pemerintah juga harus membuat peraturan agar daya saing dari industri kecil dapat semakin menguat, diantaranya mengenai larangan impor sampah, karena dapat mempengaruhi harga di tingkat pemulung.

Dengan melihat berbagai hal di atas, maka sangat penting bagi DPRD Kota Samarinda beserta Pemerintah Kota Samarinda untuk membuka ruang bagi partisipasi publik dalam pembangunan kota, termasuk dalam hal penggunaan teknologi pengolahan sampah di Kota Samarinda. Hal penting lainnya adalah DPRD Kota Samarinda dan Pemerintah Kota Samarinda harus lebih membuka kembali hasil-hasil kajian yang telah dilakukan oleh para peneliti di Kota Samarinda dalam membuat keputusan, karena senyatanya telah banyak hasil-hasil kajian dan hasil-hasil penelitian yang akan sangat bermanfaat bagi pembangunan kota Samarinda, termasuk di dalam hal pengelolaan sampah kota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gue

Gue