Minggu, 04 Juli 2010

Penanganan Limbah dengan Microchannel Reactor

Dunia sedang memasuki era baru, di mana konsep the more the merrier sudah lama ditinggalkan dan digantikan dengan the lesser the better. Demikian pula dengan perkembangan reaktor. Teknologi microchannel reactor kini mulai dikembangkan untuk berbagai kegunaan, di antaranya adalah untuk pengolahan limbah nuklir in situ.
Ada perbedaan mendasar dari microreactor dan microchannel reactor. Teknologi microreactor berarti menggunakan reaktor berukuran kecil yang seringkali dipakai dalam tes laboratorium. Sementara teknologi microchannel tetaplah dimaksudkan untuk produksi komersial, misalnya reaktor, mixer, heat exchanger, yang memanfaatkan saluran mikro untuk menampung proses aliran dan meningkatkan kinerja. Dimensi diameter saluran bervariasi dari puluhan hingga seratusan mikrometer dengan panjang bisa mencapai beberapa meter. Perbedaan mendasar adalah komponen microchannel tersebut terintegrasi ke dalam sistem yang mengandung puluhan hingga ribuan saluran. Ukuran channel bervariasi antara 0,1 sampai 10 mm.
Dalam pengolahan limbah nuklir in situ, Pacific Northwest National Laboratory mengembangkan reaktor yang berdimensi sekitar 24×24x6 inch. Menurut Ed Baker, direktur divisi energi dan efisiensi PPNL, dibandingkan dengan memindahkan limbah ke fasilitas tersentralisasi, PPNL mengembangkan mesin skala kecil yang dapat ditempatkan dalam tangki untuk memproses limbah di tempat asalnya. Kalkulasi awal yang disandingkan dengan penelitian yang dibiayai oleh Departemen Energi Amerika Serikat menghasilkan suatu kesimpulan bahwa gagasan untuk memproses limbah dengan cara ini adalah suatu ide yang bagus. Pengerjaan yang dikerjakan secara bersamaan oleh Amerika Serikat dan Eropa untuk mengembangkan cara untuk merancang microchannel menjadi chip-chip silikon menjanjikan masa depan yang menjanjikan: kemungkinan microchannel reactor untuk menghasilkan perkembangan besar dalam proses kimia.
“Sayangnya,” kata Baker, seperti dikutip oleh Innovation: America’s Journal of Technology Commersialization “gagasan mengembangkan microchannel reactor untuk memproses limbah nuklir tidak pernah mencapai suatu daya tarik yang nyata. Malahan, suatu fasilitas sentral bernilai milyaran dolar untuk memproses limbah dalam tangki sedang dalam proses.”
Bangunan dasar dari microchannel reactor terdiri dari komponen-komponen dengan microchannel-microchannel paralel. Menurut Terry Mazanec, kepala ilmuwan Velocys, ukuran kecil berarti biaya kapital yang berkaitan dengan microchannel reactor relatif murah jika dibandingkan dengan peralatan konvensional. Keuntungan lainnya, semakin kecil footprint dari sebuah microchannel reactor memungkinkan reaktor dapat ditempatkan di tempat-tempat premium, pada platform pengilangan minyak bumi offshore, atau pada refiner-refiner yang ramai. Konstruksi modular reaktor memberikan fleksibilitas yang tinggi pada saat mendesain sebuah plant.
Perawatan dan pengisian katalis dapat dilakukan dengan mengganti module-module individual, tidak membutuhkan proses shutdown seluruh sistem. Suatu plant yang didasarkan pada microchannel reactor dapat dibangun pada luas area yang lebih kecil namun tetap memiliki kapasitas yang diperlukan. Hal ini tidak hanya akan memperlancar siklus bisnis dan menghemat biaya transportasi. Cara ini juga lebih mudah, lebih murah, dan lebih cepat dalam membuat kapasitas tambahan sesuai dengan kebutuhan.
Oleh karena setiap blok reaktor memiliki ribuan channel proses yang diisi dengan katalis yang terjalin dengan panas input atau channel dingin, maka microchannel reactor lebih mampu untuk melampaui barrier perpindahan panas dan massa. Dengan melampaui barrier perpindahan massa secara esensial memungkinkan produksi yang lebih cepat, sedangkan kapabilitas perpindahan panas berarti reaktor dapat mengatasi masalah panas secara lebih efisien daripada sistem konvensional. Microchannel reactor cocok digunakan untuk mengeluarkan baik reaksi katalitik eksotermik tinggi (atau generator panas) dimana panas dari reaktor harus dihilangkan, begitu juga reaksi endotermik tinggi atau reaksi yang membutuhkan panas tinggi.
Aplikasi-aplikasi yang potensial lainnya bagi microchannel reactor bervariasi dari produksi bahan komuditi kimia seperti vinyl acetate, ethylene oxide, acrylic acid, dan acrylonitrite dengan reaksi oksidasi parsial selektif untuk menguapkan metan reforming untuk memproduksi hidrogen untuk digunakan dalam bahan bakar. Namun demikian, aplikasi yang paling memungkinkan adalah produksi terdistribusi second generation biofuel from waste (BTL) dengan reaksi FT menggunakan microchannel reactor pada plant skala kecil dekat sumber limbah. Menurut Tonkovich, wakil presiden pengembangan teknologi dan manufaktur Velocys, dengan optimasi katalis yang baik, microchannel reactor FT kecil dapat beroperasi dengan efisien dan ekonomis saat reaktor hanya memproduksi 500 sampai 2000 ton limbah per hari.
Sumber:
Innovation: America’s Journal of Technology Commersialization. April/May 2009. Processing Waste with Microchannel Reactors oleh Laura Silva.
http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/teknologi_tepat_guna/reaktor-microchannel-reaktor-apa-ini/

Lilypad, Kota Terapung Ramah Lingkungan

su global warming kian merebak beberapa tahun terakhir. Namun, isu itu tak melulu direspon negatif. Para penemu justru termotivasi untuk membuat berbagai penemuan baru yang ramah lingkungan ataupun dapat menghadapi efek global warming. Sebut saja beberapa teknologi ramah lingkungan terbaru seperti mobil bertenaga udara tanpa polusi, mesin pencuci pakaian yang menggunakan kurang dari 2 persen air dan energi (Xeros), serta eco-laptop, notebook dengan bambu sebagai cover-nya, plastik yang dapat didaur ulang sebagai elemennya, tanpa cat dan elektroplating. Arsitek dari Belgia, Vincent Callebaut, juga tak mau ketinggalan. Ia mengajukan terobosan baru untuk menghadapi masalah kenaikan permukaan air laut. Kenaikan tersebut disebabkan oleh mencairnya sumber es raksasa di Benua Antartika dan Greenland serta kumpulan gletser yang ada di berbagai daerah. Menurut ramalan GIEC (Intergovernmental Group on the Evolution of the Climate), permukaan air laut sudah naik 20 – 90 cm pada abad 21 dengan nilai rata-rata 50 cm (pada abad 20, nilai rata-rata sebesar 10 cm). Para ilmuwan dunia memperkirakan bahwa kenaikan temperatur sebesar 1°C akan menyebabkan peningkatan ketinggian permukan air laut sebesar 1 meter. Peningkatan tersebut akan menenggelamkan daratan sekitar 0.05% di Uruguay, 1% di Mesir, 6% di Belanda, 17.5% di Bangladesh dan 80% di Kepulauan Marshall dan Kiribati hingga Kepulauan Maladewa. Hal ini akan mempengaruhi lebih dari 50 juta orang yang ada di negara berkembang. Daratan yang tidak tenggelam akan memiliki tingkat pencemaran keasinan air laut yang tinggi sehingga akan merusak ekosistem lokal. Akibatnya, kota-kota seperti New York, Bombay, Calcutta, Hô Chi Minh City, Shanghai, Miami, Lagos, Abidjan, Djakarta, dan Alexandria akan menghasilkan lebih dari 250 juta pengungsi.
lilypadSolusi yang ditawarkan oleh Vincent Callebaut adalah Lilypad, kota terapung yang merupakan prototipe kota amfibi dengan sebagian daerah akuatik dan sebagian lagi daerah daratan. Kota ini mampu mengakomodasi 50.000 penduduk dan dapat menghidupi dirinya sendiri. Lilypad dapat mengembangkan flora dan faunanya di sekitar danau yang dapat menampung dan menjernihkan air hujan. Kota ini didesain dengan 3 marina dan 3 gunung yang didedikasikan untuk perkantoran, pertokoan, dan tempat hiburan. Seluruh daerah ditutupi oleh perumahan dan taman serta jalan dan gang dengan outline organik. Dengan adanya kota ini, diharapkan dapat tercipta hubungan yang harmonis antara manusia dan alam serta dapat mendalami mode baru untuk tinggal di laut dengan bangunan yang yang dapat bergerak.
Lilypad
Lilypad
Struktur mengapung Lilypad diinspirasi oleh daun lili yang diperbesar 250 kali. Kulitnya yang tebal terbuat dari serat polyester yang dilapisi dengan titanium oksida seperti anatase sehingga dapat mengabsorbsi polusi atmosfer dengan efek fotokatalitik. Lilypad dapat mengatasi 4 masalah utama manusia menurut OECD pada Maret 2008, yaitu iklim, biodiversitas, air, dan kesehatan. Kota ini mencapai neraca energi yang positif tanpa emisi karbon dengan integrasi energi terbarukan (solar, energi panas dan fotovoltaik, energi angin, hidraulik, energi osmotic dan biomassa) sehingga menghasilkan energi lebih banyak dari yang terkonsumsi. Ecopolis terapung ini juga dapat menghasilkan dan melunakkan oksigen dan listrik sendiri dengan mendaur ulang karbon dioksida dan limbahnya, dan menjernihkan serta melunakkan air yang sudah terpakai.
Referensi:
http://vincent.callebaut.org

Obama Dorong Pembangunan PLTS


Presiden AS Barack Obama, Sabtu (3/7/2010), menggelontorkan dana hampir sebesar dua miliar dollar AS kepada dua perusahaan energi yang berkomitmen akan membangun pembangkit listrik tenaga surya di AS. Komitmen ini diperkirakan akan menciptakan ribuan peluang kerja di negara tersebut.

"Kita akan terus berjuang untuk meningkatkan perbaikan," ujar Obama ketika memberikan pidato mingguan di radio. "Kita akan tetap berjuang secara agresif untuk memastikan pekerjaan dan industri masa depan berakar di sini, di Amerika," ujar Obama.

Abengoa Solar, salah satu perusahaan tersebut, setuju untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya terbesar di Arizona, yang akan menciptakan 1.600 lapangan pekerjaan di bidang konstruksi. Ketika rampung nanti, pembangkit ini mampu menciptakan energi bersih bagi 70.000 rumah.

Sementara itu, perusahaan lainnya, Abound Solar Manufacturing, sepakat membangun dua pembangkit listrik, masing-masing di Colorado dan Indiana. Kedua pembangkit ini diperkirakan dapat menyerap 2.000 tenaga kerja, dan 1.500 lapangan kerja permanen. Pasalnya, pembangkit ini akan menghasilkan jutaan panel surya setiap tahunnya, kata pejabat Gedung Putih.

"Inilah yang beberapa hal yang kami sedang lakukan," kata Obama. Namun Obama menyadari bahwa langkah ini belum dapat menyerap seluruh angkatan kerja yang ada. Mantan senator Illinois ini mengatakan akan terus berjuang untuk itu.

Pengumuman ini dilakukan menyusul laporan soal tingkat pengangguran di AS yang mencapai 9,5 persen akibat imbas resesi ekonomi yang masih melanda negara tersebut. Obama mengatakan Amerika masih membutuhkan waktu untuk keluar dari resesi ekonomi.

Jumat, 02 Juli 2010

Pengelolaan Limbah Medis


Pada umumnya 10 - 15% limbah yang dihasilkan oleh sarana pelayan kesehatan, adalah limbah medis. Limbah medis kebanyakan sudah terkontaminasi oleh bakteri, virus, racun dan bahan radioaktif yang berbahaya bagi manusia dan makhluk lain di sekitar lingkungannya. Jadi limbah medis dapat dikategorikan sebagai limbah infeksius dan masuk pada klasifikasi limbah bahan berbahaya dan beracun. Untuk mencegah terjadinya dampak negatif limbah medis tersebut terhadap masyarakat atau lingkungan, maka perlu dilakukan pengelolaan secara khusus.

KATEGORI LIMBAH

  • Limbah Infeksius

    Limbah yang dicurigai mengandung bahan patogen contoh kultur laboratorium, limbah dari ruang isolasi, kapas, materi atau peralatan yang tersentuh pasien yang terinfeksi, ekskreta

  • Limbah Patologis

    Jaringan atau potongan tubuh manusia, contoh bagian tubuh, darah dan cairan tubuh yang lain termasuk janin

  • Limbah Benda Tajam

    Limbah benda tajam, contoh jarum, peralatan infus, skalpel, pisau, potongan kaca

  • Limbah Farmasi

    Limbah yang mengandung bahan farmasi contoh obat-obatan yang sudah kadaluwarsa atau tidak diperlukan lagi, item yang tercemar atau berisi obat

  • Limbah Genotoksik

    Limbah yang mengandung bahan dengan sifat genotoksik contoh limbah yang mengandung obat-obatan sitostatik (sering dipakai dalam terapi kanker) zat kimia genotoksik. Produk bersifat genotoksik yang paling banyak digunakan untuk sarana pelayanan kesehatan:

  1. Golongan Karsinogenik
    • Benzen
  2. Obat Sitotoksik
    • Azatioprin, Klorambusil, Siklosporin, Siklofosfamid, Melfalan, Semustin, Tamoksifen, Tiotepa, Treosulfan
  3. Golongan yang kemungkinan karsinogenik
    • Azacitidine, bleomycin, carmustine, chloramphenicol, chlorozotocin, cisplatin, dacarbazine, daunorubicin, dihydroxymethylfuratrizine (e.g. Panfuran S—no longer in use), doxorubicin, lomustine, methylthiouracil, metronidazole, mitomycin, nafenopin, niridazole, oxazepam, phenacetin, phenobarbital, phenytoin, procarbazine hydrochloride, progesterone, sarcolysin, streptozocin, trichlormethine
  • Limbah Kimia

Limbah yang mengandung bahan kimia contoh reagen di laboratorium, film untuk rontgen, desinfektan yang kadaluwarsa atau sudah tidak diperlukan, solven. Limbah ini dikategorikan limbah berbahaya jika memiliki beberapa sifat (toksik, korosif (pH12), mudah terbakar, reaktif (mudah meledak, bereaksi dengan air, rawan goncangan), genotoksik

  • Limbah dengan kandungan logam berat tinggi

Baterai, thermometer yang pecah, alat pengukur tekanan darah

  • Wadah bertekanan

Tabung gas anestesi, gas cartridge, kaleng aerosol, peralatan terapi pernafasan, oksigen dalam bentuk gas atau cair

  • Limbah Radioaktif
  • Limbah yang mengandung bahan radioaktif contoh cairan yang tidak terpakai dari terapi radioaktif atau riset di laboratorium
SUMBER LIMBAH MEDIS
  • Unit pelayanan kesehatan dasar
  • Unit pelayanan kesehatan rujukan
  • Unit pelayanan kesehatan penunjang ( laboratorium)
  • Unit pelayanan non kesehatan ( farmasi )

Cara perlakuan terhadap bahan medis berbahaya , perlakuan yang  tidak benar menimbulkan resiko ancaman yang bersifat infeksious, yang  menimbulkan kerugian kesehatan.

Menyulap Limbah Pabrik Menjadi Boneka


Banyak limbah kain dari pabrik konveksi terbuang begitu saja di Mojokerto, Jawa Timur. Namun seorang warga bernama Suhar di Kauman, Mojokerto, kreatif dan peduli lingkungan berhasil memanfaatkannya menjadi aneka boneka dari kain perca. Saat ditemui di kediamannya, baru-baru ini, beberapa orang asik memilih dan memilah kain limbah, mengukur, memotong, dan menjahit hingga menjadi boneka.

Gagasan Suhar datang dari salah seorang anaknya yang bekerja di toko boneka. Dengan sedikit modal disertai keuletan, ia membuat sendiri boneka. Ia kemudian mencari kain limbah dari sebuah pabrik jaket berbahan kain. Selain boneka, Suhar juga membuat aneka asesoris dan hiasan kamar tidur. Berbagai karakter kartun yang digemari anak pun ia buat.

Selain didukung ketiga anaknya, Suhar mempekerjakan sejumlah tetangganya. Suhar menjual produknya mulai dari Rp 15 ribu untuk boneka kecil. Sedangkan untuk boneka besar ia jual hingga Rp 150 ribu per buah. Boneka kain perca Suhar kini menembus pasa di berbagai kota seperti Semarang, Malang, Surabaya, hingga ke Medan, Sumatra Utara dan sejumlah kota di Kalimantan.

Limbah Pabrik Dijadikan Kerajinan Unik

Keberanian Yeyen Komalasari untuk mengolah limbah pabrik menjadi beraneka kerajinan tangan kini berbuah manis. Usaha yang dirintis bersama sang kakak sejak tahun 2004 di rumahnya di Serang, Banten, telah mampu mencukupi kebutuhan keluarga. Yeyen menamakan tempat usahanya Naniwa House.

Awalnya, Yeyen hanya ingin berwiraswasta dengan modal yang murah dan terjangkau. Dia bersama sang kakak akhirnya sepakat memilih kulit sintetis sebagai bahan baku. Bahan ini biasa digunakan menyaring bijih besi. Kulit yang telah menjadi limbah dicuci sebanyak 10 hingga 20 kali supaya steril. Setelah kering, kulit dipotong sesuai pola yang diinginkan.

Secara keseluruhan, Yeyen memiliki 180 pola. Sisa kulit dengan potongan terkecil dijadikan cincin atau gantungan kunci. Sedangkan limbah kulit yang masih lebar dijadikan pelapis helm. Untuk bentuknya, konsumen biasanya menyukai yang ekstrem, semisal tengkorak.

Yeyen membandrol hasil karyanya mulai dari Rp 2.000 hingga Rp 200 ribu. Gantungan kunci dan cincin dihargai paling murah dibandingkan helm dan tas. "Tergantung proses pembuatannya. Semakin sulit, semakin mahal," ucap Yeyen.

Sebagai media promosi, Yeyen rutin mengikuti berbagai pameran seperti Inacraft dan Ikra. Respons yang diperoleh cukup baik sehingga usaha ini bisa berkembang. Pesanan yang semakin banyak menjadikan gadis berdarah Sunda ini membuka lapangan pekerjaan bagi warga di sekitar rumahnya. Kini, Yeyen melibatkan 20 orang untuk proses produksi. Yeyen berharap bisa membuka sentra kerajinan di Serang sebagai wadah bagi perajin kecil seperti dirinya.
NANIWA HOUSE
Jalan K.S. Tubun IIIC No. 24 Jakarta

Kontak personal: Yeyen Komalasari
Telepon seluler: 0818 06825081 / 0812 132 1500

Pengelolaan Limbah Ternak Sapi Pilihan Cerdas Petani Pinggir Hutan

Menyulap limbah ternak sapi menjadi api, kini bukan lagi hal baru di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Bahkan, di salah satu desa, gas methane hasil fermentasi limbah sapi itu kini mampu menggantikan kelangkaan gas elpiji di pasaran.

Bukan hanya itu, dengan sedikit riset ulet dan tak bosan berinovasi, perangkat genset untuk kebutuhan listrik kini tak lagi memerlukan bensin sebagai bahan bakarnya. Ya, dari tangan petani pinggir hutan, biogas bahkan telah berhasil menggantikan bahan bakar fosil itu dalam menghidupkan generator. Benar, limbah sapi kini bukanlah momok pencemar sungai lagi. Aromanya yang dulu mendominasi desa, kini dapat diminimalisir. Dan sanitasi desa kini menjadi lebih tertata kebersihan dan kesehatannya.

Dari Kota Batu Jawa Timur, biogas mulai merambah ke kota lain. Pada awal diselenggarakannya Sekolah Lapangan ESP di Batu, telah berdiri sebuah instansi biogas dengan kapasitas besar. Namun ini dinilai mahal oleh petani. Dengan sedikit memutar otak, penggunaan plastik sebagai pengganti ramai digunakan sebagai penyimpan methane. Selain murah, petani mudah menginstallnya.

Dari hitungan kasar petani pinggir hutan, mereka memerlukan empat batang pohon agar asap dapur mereka mengepul dalam setahun. Dengan begitu, satu unit biogas untuk satu keluarga petani mampu menyelamatkan kehidupan empat batang pohon per tahunnya. Manfaat besar bagi konservasi hutan.

Wajar jika demam biogas terasa dimana-mana. Di kecamatan Lawang, Malang biogas ramai dibicarakan. Slamet, salah seorang warga desa Srigading dengan jeli mengadopsi pengetahuan dan pengalaman selama mengikuti Sekolah Lapangan untuk merintis sebuah biogas di desanya. Kini, Slamet tak luput dari kejaran tetangganya untuk bisa membangun biogas-biogas baru di desa ini dan sekitarnya.

Semangat untuk mencoba hal baru juga lekat pada sosok petani hutan lainnya. Nanang dan Slamet Djaroni. Dua nama asal kecamatan Tumpang yang baru-baru ini melakukan riset sederhana tapi kreatif.

Tak mau kalah dengan pemerintah yang gencar promosi konversi minyak tanah menjadi gas. Mereka pun mengisi ulang tabung gas konversi itu dengan gas yang dihasilkan dari teknologi biogas. Cukup dengan mengadopsi teknologi yang biasa dipakai tukang reparasi pengatur udara ruang (AC) untuk menguras dan mengisi gas freon. Begitulah cara para alumni Sekolah Lapangan ESP mengembangkan potensi mereka dan desanya.

Limbah Peternakan Unggas, Isu dan Penanganannya


Welcome to the Home of the Blues & Birthplace of Rock ‘n’ Roll”, demikian iklan populer kota Memphis-TN, USA. Disinilah simposium Penanganan Limbah Unggas Nasional 2004 Amerika Serikat diadakan. Walaupun pertemuan kali ini hanya dihadiri sekitar 150 peserta, banyaknya dukungan sponsor menunjukkan kuatnya komitmen para stake holders (sponsor dan pembicara lintas sektoral [praktisi hukum dan lingkungan, pakar teknologi dan peternakan, maupun kalangan industriwan]) untuk bersinergi mencari solusi dan informasi terkini guna menghasilkan usaha peternakan yang efisien-ramah lingkungan.

CAFOs merupakan muara pemikiran ke arah usaha pengurangan emisi sekaligus limbah ternak, dan ia menjadi salah satu isu hangat pada pertemuan 2-tahunan Poultry Waste Management Symposium baru lalu. CAFOs sebenarnya adalah suatu kriteria di AS yang digunakan untuk menilai apakah suatu usaha tani-ternak masuk kategori besar-intensif (yakni setara 1000 Satuan Ternak).

Konsentrasi ternak yang tinggi per satuan luas lahan akan berdampak kepada peningkatan produksi limbah, baik berupa emisi (gas dan debu) maupun buangan kandang (kotoran/manur).

Bila suatu kegiatan peternakan masuk dalam kategori ini (Tabel 1), maka si empunya haruslah melaksanakan program penanganan emisi gas+debu hingga ke penanganan limbah kotoran dari usaha ternaknya sesuai dengan undang-undang (UU kebersihan udara [Clean Air Act] dan UU kebersihan air [Clean Water Act]). Bila tidak maka sangsi berat akan dikenakan oleh penegak hukum federal (The US-Environmental Protection Agency [US-EPA]).

Kontribusi emisi dari usaha berbasis peternakan terhadap polusi udara sudah sejak lama menjadi perhatian serius negara-negara maju yang memiliki skala dan intensitas peternakan tinggi.

Sebut saja emisi gas amonia (NH3) ke udara, ternyata temuan di negara Eropa dan Amerika menunjukkan lebih dari 80% nya disumbang oleh kegiatan peternakan (US-EPA), 2002), dan diperkirakan 25% nya adalah berasal dari kegiatan peternakan unggas. Kemampuan NH3 bereaksi dengan senyawa-senyawa asam di udara berakibat kepada peningkatan jumlah partikel debu (aerosol) yang sangat membahayakan kesehatan. Simak pula emisi debu berasal kandang unggas hasil penelitian di negara-negara Eropa (Tabel 2).

Bila batas bahaya total debu 10 mg/m3 dan 5 mg/m3 untuk debu inhalable dan respirable, bisa dibayangkan berapa jumlah debu yang bisa terhirup manakala kecepatan angin per jam tinggi pada suatu areal. Oleh sebab itu, modifikasi unsur nutrisi ransum dengan segala feed additive-nya hingga ke manajemen limbah, dan terakhir ke usaha peningkatan nilai guna limbah unggas terus saja dilakukan untuk kepentingan eksistensi peternakan dan keseimbangan ekologi.

Mengutip aturan EPA, Dr. Anthony Pescatore (Univ. of Kentucky) dalam presentasinya pada forum simposium ini mengemukakan bahwa paling sedikit ada 6 jenis polutan udara (Tabel 3) yang berbahaya terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Menurutnya, EPA juga menetapkan 188 polutan lainnya yang sangat berbahaya, dan 3 diantaranya adalah senyawa organik yang mudah menguap (volatile organic compounds), H2S, dan NH3.

Senyawa terakhir (NH3) inilah yang paling mendapat perhatian di bidang peternakan unggas disamping debu. Apalagi, dengan diameter partikel yang sangat kecil, NH3 mudah terserap/menjadi bagian partikel debu (particulate matter) bersama debu kandang lainnya baik yang berasal dari hewan dan pakan maupun ikutan debu seperti spora bakteri dan jamur, virus, endotoksin, dan gas berbahaya lainnya.

Dalam ukuran yang sederhana, Dr. Eileen Wheeler (The Pennsylvania State Univ.) menambahkan bahwa batas debu (Particulate Matter [PM]) khususnya PM10 yang ditetapkan adalah sebesar 110 ton/th, NH3 45 kg/hari, dan H2S 45kg/hari dari suatu usaha peternakan.

Meskipun beberapa negara bagian di AS masih terus merumuskan aturan internalnya, sosialisasi aturan ini sudah lama dilakukan, termasuk program insentifnya.

Bahkan, untuk menyadarkan petani/peternak agar mau terlibat dalam mengatasi pencemaran, program kursus/magang yang dinamakan “Master Farmer Program” diikuti dengan “Master Poultry Producer Program pun diluncurkan. Pengalaman Lousiana State University menunjukkan tingkat partisipasi peserta yang sangat tinggi. Program ini sepenuhnya atas biaya pemerintah dan sponsor.

Dalam pelatihan ini peserta diberikan bekal pengetahuan mengenai seluk beluk penanganan limbah pertanian/peternakan hingga ke biosecurity sehingga nantinya secara sukarela mereka akan berperan sebagai petani/peternak yang selalu berusaha memperkecil potensi dan akibat limbah dari usaha pertanian/peternakannya terhadap lingkungan.

Fokus pada strategi manajemen, Dr. Paul Patterson (The Pennsylvania State Univ.) masih konsisten menunjukkan pilihan-pilihan potensial yang dapat digunakan guna meredusir jumlah dan pengaruh negatif limbah dan emisi usaha peternakan unggas. Yang paling sederhana adalah menjaga kebersihan kandang.

Lalu, perlu dijaga pula agar ternak tidak mengalami stres berlebihan baik akibat kekurangan nutrisi, penyakit, maupun buruknya manajemen kandang (ventilasi, kelembaban, suhu, dll) untuk menghindari wet droppings (kotoran basah). Semakin basah kotoran semakin besar peluang terbentuknya gas oleh dekomposisi bakteri, khususnya NH3. Penyemprotan emulsi minyak+air di dalam kandang, penerapan bioscrubbing, penggunaan biofilter, dan pemberian muatan elektrostatik dalam ruangan kandang terbukti dapat mengurangi dan menangkap debu secara signifikan.

Demikian pula halnya dengan penaburan senyawa asam pada litter (yang dapat mencegah pertumbuhan bakteri pembentuk gas) dan pembuatan kompos manur (yang dapat mengurangi polusi udara dan bau), keduanya efektif mengurangi debu dan gas. Apalagi jika usaha ini didahului dengan pemberian ransum yang baik dan berdaya cerna tinggi.

Produk unik berasal limbah unggas

Kekhawatiran akan aplikasi kotoran unggas (sebagai pupuk) ke lahan yang dapat berdampak tercucinya sebagian senyawa nitrogen (N) dan fosfor (P) dari tanah ke aliran air serta keprihatinan akan terbatasnya manfaat limbah membuat pakar maju selangkah lagi dalam usaha meningkatkan daya guna limbah unggas.

Adalah Dr. Isabel M. Lima (Agriculture Research Service-South Regional Research Center, USDA) yang mempromosikan bahan karbon aktif bentuk butiran (granular activated carbon) dari kotoran unggas melalui makalahnya dalam simposium kali ini.

Disamping murah, produk ini menurut beliau jauh lebih baik dibanding produk serupa berasal bahan konvensional lain karena memiliki porositas tinggi, luaspermukaan yang lebih besar, dan daya ikat yang tinggi terhadap logam berbahaya, seperti tembaga (Cu), kadmium (Cd), dan ion Zn. Jika digunakan untuk mengendapkan polutan/limbah, berupa senyawa kimia yang mengandung unsur logam seperti tersebut di atas sungguh sangat besar manfaatnya. Tetapi, nilai estetika produk ini akan menjadi pertimbangan bila digunakan sebagai penyaring air untuk keperluan manusia seperti lazimnya penggunaan bahan karbon aktif lain seperti batok kelapa.

Limbah pemotongan unggas khususnya offal (darah, bulu, organ tak termakan hingga jeroan) sering kali terbuang atau dijadikan tepung untuk makanan ternak.

Kini, dengan menggunakan teknologi Thermal Conversion Process limbah yang tidak dikonsumsi ini dapat diolah menjadi bahan bakar yang dapat diperbaharui (renewable fuels). Bahkan limbah produk pertanian yang tidak dikonsumsipun termasuk offal (termasuk tulang, darah, dan bulu), sisa restoran, dan limbah cair (sludge) dapat diolah lebih lanjut dengan teknologi yang sudah mendapat paten ini untuk membuat minyak organik, asam lemak, gas (bahan bakar), karbon, dan pupuk.

Nilai guna limbah unggas ini menjadi semakin nyata dengan adanya teknologi yang dikembangkan oleh Vortex Dehydration System (Maryland), yang disebut mereka sebagai ‘tornado-in-can”. Teknik ini memanfaatkan bagian/organ daging hewan yang terbuang (punggung, kulit jantung, dan hati) dari pemrosesan karkas untuk ditingkatkan nilainya menjadi biodiesel sehingga memperkaya bahan dasar pembuatan biodiesel konvensional lainnya yang berasal tanaman (seperti sawit, jagung, dan bijian lainya).

Larangan memasukkan bahan berasal hewan (tepung daging, tepung bulu, dan tepung tulang) sebagai campuran ransum ternak khususnya di negara-negara Eropa akibat ancaman penyakit sapi gila (mad cow BSE) mungkin akan mematikan usaha industri tepung bulu bila tidak ada alternatif lain pemanfaatan limbah ini.

Oleh sebab itu pengusaha di bidang ini sungguh beruntung dengan adanya rangkaian penelitian yang dilakukan oleh pakar kimia (Dr. Walter Schmidt, dkk) dari USDA/ARS/ANRI/BARC/EQL. Mereka berhasil membuat beberapa prototipe produk berasal serat-keratin bulu unggas (feathers keratin fiber). Dengan teknologi yang sudah menghasikan paten ini, beberapa produk dari keseluruhan prototipe produk (plastik, kertas/pulp, serat pengganti bahan pembuat kapal fiber glass, kertas film, plastik, kayu, cardboard, dll), sudah berhasil dipasarkan komersial.

Bukan tidak mustahil sebagian besar produk berbahan serat polimer yang ada saat ini akan tersaingi oleh serat-keratin bulu yang memang secara kualitas jauh lebih ringan dibanding serat polimer lainnya dengan daya tahan yang setara.

Menarik untuk dicermati adalah bila satu unit fasilitas/rumah potong ayam ukuran sedang memotong ayam 5000 ekor/hari saja (asumsi: BB: 1.8 kg/ekor; 7 % bulu) maka produksi bruto bulu dapat mencapai mencapai 630 kg/hari. Bisa dibayangkan kalau nilai ini dikali dengan banyaknya rumah potong hewan dalam satu wilayah, belum lagi jika kapasitas potong unggas di unit tersebut besar. adrizal, Menulis dari Memphis. Tennesse, AS

Pemanfaatan Limbah Peternakan untuk Kesuburan Tanah

Limbah sebagai sisa-sisa produksi yang tidak terpakai keberadaannya saat ini masih menjadi biang permasalahan. Berbagai macam bentuk limbah yang dihasilkan baik berupa cair, padat, maupun gas belum ditangani secara baik sehingga limbah yang seharusnya didaur ulang telah menjadi sumber pencemaran. Limbah tidak hanya dihasilkan dari dunia industri saja melainkan juga dari sektor pertanian.
Pesatnya pembangunan pertanian dalam rangka pengembangan agribisnis dan agroindustri yang berkesinambungan ini telah mendorong pertumbuhan sektor pertanian tetap terjadi peningkatan. Begitu pula halnya yang terjadi pada subsektor peternakan, meskipun saat ini Indonesia tengah menghadapi krisis, peternakan Indonesia masih tetap eksis bahkan menunjukkan peningkatan.
Peningkatan produksi yang didorong untuk memenuhi permintaan dalam maupun luar negeri memang memberikan keuntungan dan sangat diharapkan. Namun disisi lain, peningkatan produksi ternak secara tidak langsung tersebut juga menimbulkan ekses (dampak) negatif. Diantaranya adalah limbah yang dihasilkan dari ternak itu sendiri. Disadari atau tidak, limbah peternakan ini selain mengganggu lingkungan sekitar, juga dapat menimbulkan bibit penyakit bagi manusia.
Saat ini masyarakat masih kurang menyadari akan pentingnya upaya pengelolaan limbah peternakan yang dihasilkan sehingga terkesan tidak mau tahu. Kalaupun ada pihak yang berupaya menanganinya akan menjadi kurang efektif karena tidak mendapat dukungan dari pihak lain. Melihat kenyataan seperti itu timbullah suatu pertanyaan, bagaimana caranya mengelola limbah ternak agar selain tidak merusak lingkungan juga dapat memberikan keuntungan bagi sektor lain . Limbah peternakan yang dihasilkan ada yang berupa kotoran (pupuk kandang) ada pula yang berupa sisa-sisa makanan. Setiap usaha peternakan baik itu berupa sapi, ayam, kambing, kuda, maupun babi akan menghasilkan kotoran. Namun jangan salah, kotoran yang dihasilkan ternak tersebut ternyata memiliki kandungan unsur hara yang tinggi sehingga tidak salah bila para petani menggunakannya sebagai pupuk dasar.

Kotoran yang dihasilkan ternak itu ada dua macam yaitu pupuk kandang segar dan pupuk kandang yang telah membusuk. Pupuk kandang segar merupakan kotoran yang dikeluarkan hewan ternak sebagai sisa proses makanan yang disertai urine dan sisa-sisa makanan lainnya. Sedangkan pupuk kandang yang telah membusuk adalah pupuk kandang yang telah disimpan lama sehingga telah mengalami proses pembusukan atau penguraian oleh jasad renik (mikroorganisme) yang ada dalam permukaan tanah.

Faedah
Seperti yang telah disinggung diatas, kotoran hewan memiliki kandungan unsur hara yang cukup tinggi dan sangat lengkap. Dengan keunggulan tersebut maka manfaat dari penggunaan kotoran hewan ini antara lain :
1. Menambah zat atau unsur hara dalam tanah. Tanah yang miskin atau pun kurang subur memeiliki kandungan unsur hara yang kurang mencukupi bagi pertumbuhan, sehingga pemberian pupuk terutama pupuk yang bersifat organik secara langsung akan mampu menambah unsur hara yang kurang memadai tersebut serta memberikan tambahan unsur hara baru yang belum ada.
2. Mempertinggi kandungan humus di dalam tanah. Humus sebagai hasil substansi yang berasal dari bahan organik seperti protein, lemak dan sisa-sisa tanaman yang telah mengalami proses penguraian sangat penting artinya bagi tanaman. Hal ini disebabkan humus bersifat koloid (bermuatan negatif) yang dapat meningkatkan absorpsi (penyerapan) dan pertukaran kation serta mencegah terlepasnya ion-ion penting. Selain itu humus juga berfungsi sebagai reservoar (pergantian) mineral untuk pengambilan oleh tumbuhan. Adanya pupuk kandang yang hampir sebagian besar berupa bahan organik akan dapat menambah kandungan humus yang ada. Semakin banyak humus terdapat pada tanah, maka tanah relatif semakin subur.

3. Mampu memperbaiki struktur tanah. Pada ABDI TANI edisi lalu telah disinggung bahwa struktur tanah yang baik ditunjang oleh keberadaan mikroorganisme organik yang cukup. Tanah yang strukturnya sudah rusak hampir tidak memiliki lagi mikroorganisme yang menunjang kesuburan tanah. Dengan memberikan pupuk kandang maka akan mengaktifkan kembali mikroorganisme yang ada melalui proses biologis dan kimia.
Peternakan ayam yang diusahakan dalam skala menengah maupun besar menghasilkan efek berupa limbah kotoran yang selain mencemari lingkungan juga menyebarkan bibit penyakit.

4. Mendorong atau memacu aktivitas kehidupan jasad renik di dalam tanah. Terkait dengan manfaat sebelumnya, pemberian pupuk kandang ini secara langsung akan menambah bahan organik yang ada. Ada ataupun tidaknya suatu jasad renik didalam, pemberian pukan ini justru akan mendorong atau memacu kehidupan jasad renik, yang pada akhirnya melalui proses penguraian akan menghasilkan tanah yang subur dan kaya akan bahan organik.

Kandungan Unsur Hara Tinggi dan lengkap
Pupuk kandang sebagai limbah ternak banyak mengandung unsur hara makro seperti Nitrogen (N), Fospat (P2O5), Kalium (K2O) dan Air (H2O). Meskipun jumlahnya tidak banyak, dalam limbah ini juga terkandung unsur hara mikro diantaranya Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), Tembaga (Cu), Mangan (Mn), dan Boron (Bo). Banyaknya kandungan unsur makro pada pupuk kandang membuat penggunaannya hanya dilakukan pada saat pemupukan dasar saja. Hal ini erat kaitannya dengan jumlah unsur makro yang dibutuhkan tanaman yang tidak boleh melebihi rasio C/N =12. Sehingga pupuk kandang yang memiliki rasio C/N tinggi yaitu + 25 kurang baik bila digunakan untuk menyuburkan tanaman secara langsung.
Berdasarkan jenis hewannya, pupuk kandang terbagi kedalam lima macam yaitu limbah kambing, limbah sapi, limbah ayam, limbah babi dan limbah kuda. Masing-masing limbah tersebut memiliki karakteristik dan kandungan unsur hara yang berbeda (Tabel 1). Pada limbah sapi misalnya kandungan unsur haranya berbeda antara limbah cair maupun yang padat. Pada limbah sapi yang cair memiliki kandungan P lebih banyak dibandingkan yang padat. Dan sebaliknya kandungan K pada limbah sapi padat lebih banyak dibandingkan yang cair. Berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa limbah (kotoran ayam) memiliki kandungan N dan P paling besar diantara limbah ternak lainnya. Sedangkan kandungan K paling besar terdapat pada limbah domba cair yaitu sebesar 2.1 %. Suatu limbah dapat digolongkan ke dalam pupuk panas bila memiliki kandungan air yang rendah. Kandungan yang rendah tersebut berimplikasi pada proses perubahan jasad renik secara aktif menjadi lebih cepat, sehingga waktu yang diperlukan jasad renik untuk dekomposisi (penguraian) pupuk ini lebih cepat.

Aplikasi
Hampir semua cara kerja limbah ternak ini berjalan cukup lambat dan membutuhkan waktu lama karena berkaitan dengan perubahan dekomposisi atau penguraian oleh jasad-jasad sebelum siap digunakan oleh tanaman. Pemberian pupuk kandang yang berbentuk cair dengan padat berbeda. Untuk pupuk padat yang dingin misalnya dapat diaplikasikan pada tanah maupun tanaman sekitar 3 – 4 minggu setelah masa pembuatan. Sedangkan pupuk padat yang panas dapat digunakan lebih cepat yaitu sekitar 1 – 2 minggu dari masa pembuatannya. Khusus limbah ternak cair berupa urine juga dapat dimanfaatkan sebagai perangsang perkembangan tanaman karena mengandung hormon. Limbah ini sebaiknya diberikan menjelang waktu tanam dengan mengencerkannya terlebih dahulu.
Penyimpanan limbah yang baik mutlak diperlukan agar gas amoniak yang terkandung tidak banyak mengalami penguapan. Untuk mencegah penguapan tersebut maka ada beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu (1) menumpuk sedemikian rupa supaya rongga udara semakin kecil, (2) mengatur penempatan pupuk kandang dengan memperkecil ruang bagi gas amoniak untuk menguap di udara, (3) membasahi tumpukan pupuk kandang dengan air sampai lembab dan (4) mengusahakan agar tempat penyimpanan pupuk yang bentuk padat terpisah dengan pupuk cair.

(Ir. Agung S.Wibowo, MS., penulis adalah pemerhati pertanian berdomisili di Surabaya

Gue

Gue