Jumat, 02 Juli 2010

Limbah Peternakan Unggas, Isu dan Penanganannya


Welcome to the Home of the Blues & Birthplace of Rock ‘n’ Roll”, demikian iklan populer kota Memphis-TN, USA. Disinilah simposium Penanganan Limbah Unggas Nasional 2004 Amerika Serikat diadakan. Walaupun pertemuan kali ini hanya dihadiri sekitar 150 peserta, banyaknya dukungan sponsor menunjukkan kuatnya komitmen para stake holders (sponsor dan pembicara lintas sektoral [praktisi hukum dan lingkungan, pakar teknologi dan peternakan, maupun kalangan industriwan]) untuk bersinergi mencari solusi dan informasi terkini guna menghasilkan usaha peternakan yang efisien-ramah lingkungan.

CAFOs merupakan muara pemikiran ke arah usaha pengurangan emisi sekaligus limbah ternak, dan ia menjadi salah satu isu hangat pada pertemuan 2-tahunan Poultry Waste Management Symposium baru lalu. CAFOs sebenarnya adalah suatu kriteria di AS yang digunakan untuk menilai apakah suatu usaha tani-ternak masuk kategori besar-intensif (yakni setara 1000 Satuan Ternak).

Konsentrasi ternak yang tinggi per satuan luas lahan akan berdampak kepada peningkatan produksi limbah, baik berupa emisi (gas dan debu) maupun buangan kandang (kotoran/manur).

Bila suatu kegiatan peternakan masuk dalam kategori ini (Tabel 1), maka si empunya haruslah melaksanakan program penanganan emisi gas+debu hingga ke penanganan limbah kotoran dari usaha ternaknya sesuai dengan undang-undang (UU kebersihan udara [Clean Air Act] dan UU kebersihan air [Clean Water Act]). Bila tidak maka sangsi berat akan dikenakan oleh penegak hukum federal (The US-Environmental Protection Agency [US-EPA]).

Kontribusi emisi dari usaha berbasis peternakan terhadap polusi udara sudah sejak lama menjadi perhatian serius negara-negara maju yang memiliki skala dan intensitas peternakan tinggi.

Sebut saja emisi gas amonia (NH3) ke udara, ternyata temuan di negara Eropa dan Amerika menunjukkan lebih dari 80% nya disumbang oleh kegiatan peternakan (US-EPA), 2002), dan diperkirakan 25% nya adalah berasal dari kegiatan peternakan unggas. Kemampuan NH3 bereaksi dengan senyawa-senyawa asam di udara berakibat kepada peningkatan jumlah partikel debu (aerosol) yang sangat membahayakan kesehatan. Simak pula emisi debu berasal kandang unggas hasil penelitian di negara-negara Eropa (Tabel 2).

Bila batas bahaya total debu 10 mg/m3 dan 5 mg/m3 untuk debu inhalable dan respirable, bisa dibayangkan berapa jumlah debu yang bisa terhirup manakala kecepatan angin per jam tinggi pada suatu areal. Oleh sebab itu, modifikasi unsur nutrisi ransum dengan segala feed additive-nya hingga ke manajemen limbah, dan terakhir ke usaha peningkatan nilai guna limbah unggas terus saja dilakukan untuk kepentingan eksistensi peternakan dan keseimbangan ekologi.

Mengutip aturan EPA, Dr. Anthony Pescatore (Univ. of Kentucky) dalam presentasinya pada forum simposium ini mengemukakan bahwa paling sedikit ada 6 jenis polutan udara (Tabel 3) yang berbahaya terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Menurutnya, EPA juga menetapkan 188 polutan lainnya yang sangat berbahaya, dan 3 diantaranya adalah senyawa organik yang mudah menguap (volatile organic compounds), H2S, dan NH3.

Senyawa terakhir (NH3) inilah yang paling mendapat perhatian di bidang peternakan unggas disamping debu. Apalagi, dengan diameter partikel yang sangat kecil, NH3 mudah terserap/menjadi bagian partikel debu (particulate matter) bersama debu kandang lainnya baik yang berasal dari hewan dan pakan maupun ikutan debu seperti spora bakteri dan jamur, virus, endotoksin, dan gas berbahaya lainnya.

Dalam ukuran yang sederhana, Dr. Eileen Wheeler (The Pennsylvania State Univ.) menambahkan bahwa batas debu (Particulate Matter [PM]) khususnya PM10 yang ditetapkan adalah sebesar 110 ton/th, NH3 45 kg/hari, dan H2S 45kg/hari dari suatu usaha peternakan.

Meskipun beberapa negara bagian di AS masih terus merumuskan aturan internalnya, sosialisasi aturan ini sudah lama dilakukan, termasuk program insentifnya.

Bahkan, untuk menyadarkan petani/peternak agar mau terlibat dalam mengatasi pencemaran, program kursus/magang yang dinamakan “Master Farmer Program” diikuti dengan “Master Poultry Producer Program pun diluncurkan. Pengalaman Lousiana State University menunjukkan tingkat partisipasi peserta yang sangat tinggi. Program ini sepenuhnya atas biaya pemerintah dan sponsor.

Dalam pelatihan ini peserta diberikan bekal pengetahuan mengenai seluk beluk penanganan limbah pertanian/peternakan hingga ke biosecurity sehingga nantinya secara sukarela mereka akan berperan sebagai petani/peternak yang selalu berusaha memperkecil potensi dan akibat limbah dari usaha pertanian/peternakannya terhadap lingkungan.

Fokus pada strategi manajemen, Dr. Paul Patterson (The Pennsylvania State Univ.) masih konsisten menunjukkan pilihan-pilihan potensial yang dapat digunakan guna meredusir jumlah dan pengaruh negatif limbah dan emisi usaha peternakan unggas. Yang paling sederhana adalah menjaga kebersihan kandang.

Lalu, perlu dijaga pula agar ternak tidak mengalami stres berlebihan baik akibat kekurangan nutrisi, penyakit, maupun buruknya manajemen kandang (ventilasi, kelembaban, suhu, dll) untuk menghindari wet droppings (kotoran basah). Semakin basah kotoran semakin besar peluang terbentuknya gas oleh dekomposisi bakteri, khususnya NH3. Penyemprotan emulsi minyak+air di dalam kandang, penerapan bioscrubbing, penggunaan biofilter, dan pemberian muatan elektrostatik dalam ruangan kandang terbukti dapat mengurangi dan menangkap debu secara signifikan.

Demikian pula halnya dengan penaburan senyawa asam pada litter (yang dapat mencegah pertumbuhan bakteri pembentuk gas) dan pembuatan kompos manur (yang dapat mengurangi polusi udara dan bau), keduanya efektif mengurangi debu dan gas. Apalagi jika usaha ini didahului dengan pemberian ransum yang baik dan berdaya cerna tinggi.

Produk unik berasal limbah unggas

Kekhawatiran akan aplikasi kotoran unggas (sebagai pupuk) ke lahan yang dapat berdampak tercucinya sebagian senyawa nitrogen (N) dan fosfor (P) dari tanah ke aliran air serta keprihatinan akan terbatasnya manfaat limbah membuat pakar maju selangkah lagi dalam usaha meningkatkan daya guna limbah unggas.

Adalah Dr. Isabel M. Lima (Agriculture Research Service-South Regional Research Center, USDA) yang mempromosikan bahan karbon aktif bentuk butiran (granular activated carbon) dari kotoran unggas melalui makalahnya dalam simposium kali ini.

Disamping murah, produk ini menurut beliau jauh lebih baik dibanding produk serupa berasal bahan konvensional lain karena memiliki porositas tinggi, luaspermukaan yang lebih besar, dan daya ikat yang tinggi terhadap logam berbahaya, seperti tembaga (Cu), kadmium (Cd), dan ion Zn. Jika digunakan untuk mengendapkan polutan/limbah, berupa senyawa kimia yang mengandung unsur logam seperti tersebut di atas sungguh sangat besar manfaatnya. Tetapi, nilai estetika produk ini akan menjadi pertimbangan bila digunakan sebagai penyaring air untuk keperluan manusia seperti lazimnya penggunaan bahan karbon aktif lain seperti batok kelapa.

Limbah pemotongan unggas khususnya offal (darah, bulu, organ tak termakan hingga jeroan) sering kali terbuang atau dijadikan tepung untuk makanan ternak.

Kini, dengan menggunakan teknologi Thermal Conversion Process limbah yang tidak dikonsumsi ini dapat diolah menjadi bahan bakar yang dapat diperbaharui (renewable fuels). Bahkan limbah produk pertanian yang tidak dikonsumsipun termasuk offal (termasuk tulang, darah, dan bulu), sisa restoran, dan limbah cair (sludge) dapat diolah lebih lanjut dengan teknologi yang sudah mendapat paten ini untuk membuat minyak organik, asam lemak, gas (bahan bakar), karbon, dan pupuk.

Nilai guna limbah unggas ini menjadi semakin nyata dengan adanya teknologi yang dikembangkan oleh Vortex Dehydration System (Maryland), yang disebut mereka sebagai ‘tornado-in-can”. Teknik ini memanfaatkan bagian/organ daging hewan yang terbuang (punggung, kulit jantung, dan hati) dari pemrosesan karkas untuk ditingkatkan nilainya menjadi biodiesel sehingga memperkaya bahan dasar pembuatan biodiesel konvensional lainnya yang berasal tanaman (seperti sawit, jagung, dan bijian lainya).

Larangan memasukkan bahan berasal hewan (tepung daging, tepung bulu, dan tepung tulang) sebagai campuran ransum ternak khususnya di negara-negara Eropa akibat ancaman penyakit sapi gila (mad cow BSE) mungkin akan mematikan usaha industri tepung bulu bila tidak ada alternatif lain pemanfaatan limbah ini.

Oleh sebab itu pengusaha di bidang ini sungguh beruntung dengan adanya rangkaian penelitian yang dilakukan oleh pakar kimia (Dr. Walter Schmidt, dkk) dari USDA/ARS/ANRI/BARC/EQL. Mereka berhasil membuat beberapa prototipe produk berasal serat-keratin bulu unggas (feathers keratin fiber). Dengan teknologi yang sudah menghasikan paten ini, beberapa produk dari keseluruhan prototipe produk (plastik, kertas/pulp, serat pengganti bahan pembuat kapal fiber glass, kertas film, plastik, kayu, cardboard, dll), sudah berhasil dipasarkan komersial.

Bukan tidak mustahil sebagian besar produk berbahan serat polimer yang ada saat ini akan tersaingi oleh serat-keratin bulu yang memang secara kualitas jauh lebih ringan dibanding serat polimer lainnya dengan daya tahan yang setara.

Menarik untuk dicermati adalah bila satu unit fasilitas/rumah potong ayam ukuran sedang memotong ayam 5000 ekor/hari saja (asumsi: BB: 1.8 kg/ekor; 7 % bulu) maka produksi bruto bulu dapat mencapai mencapai 630 kg/hari. Bisa dibayangkan kalau nilai ini dikali dengan banyaknya rumah potong hewan dalam satu wilayah, belum lagi jika kapasitas potong unggas di unit tersebut besar. adrizal, Menulis dari Memphis. Tennesse, AS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gue

Gue