Rabu, 02 Juni 2010

Evolusi Teknologi Pengolahan Sampah

Lahan, adalah masalah konkret yang perlu dipikirkan jika kita mau mengelola TPA dengan baik. Untuk itu, diperlukan solusi jitu agar permasalahan perburuan lokasi ini tidak berlarut-larut.

Sekitar 450 TPA di Indonesia masih menerapkan sistem open dumping, yang rentan menimbulkan masalah lingkungan dan boros tempat.

Dengan teknologi TPA basah sistem reusable sanitary landfill, segalanya akan lebih ramah lingkungan dan hemat tempat.

Dinas Kebersihan DKI Jakarta pernah melaporkan data produksi sampah di Jakarta mencapai 6.000 ton per hari.

Berdasarkan asal mula serta persentasenya, sampah dari sungai (2 persen), pasar temporer (5,5 persen), PD Pasar Jaya (7,5 persen), industri (15 persen), jalan dan taman (15 persen), sementara rumah tangga (58 persen).

Adapun persentase sampah organik seperti sisa makanan, sayuran, buah-buahan, kertas, kayu mencapai 65,05 persen. Sedangkan sampah non-organik seperti plastik, styrofoam, dan besi, sekitar 34,95 persen.

Besarnya produksi sampah di Jakarta maupun daerah lain di Indonesia lantaran selama ini kebanyakan masyarakat mengelolanya dengan pendekatan akhir. Artinya sampah dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah.

Celakanya, sekitar 450 TPA sampah di Indonesia masih menerapkan cara pembuangan sampah generasi pertama yang dikenal sistem open dumping. Sistem ini menerapkan pembuangan sampah dengan cara menimbunnya di tanah lapang terbuka.

Padahal, timbunan sampah dengan volume yang besar di TPA rentan menimbulkan masalah lingkungan seperti pencemaran udara, air, dan tanah.

Pencemaran tersebut berisiko terhadap kesehatan masyarakat di sekitar TPA. Bahkan, dapat menyebabkan risiko sosial karena timbun an sampah yang sangat labil dapat longsor secara tiba-tiba.

Untuk itu, UU No 18/2008 tentang pengelolaan sampah mengamanatkan seluruh TPA sampah sistem open dumping harus menerapkan teknologi pembuangan sampah generasi kedua dengan sistem sanitary landfi ll, yaitu pembuangan sam pah dengan pengelolaan.

Sedangkan untuk menerapkan TPA sampah sistem sanitary landfi ll di Indonesia, menurut Henky Sutanto, perekayasa teknik lingkungan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), tidak bisa secara langsung mengadopsi teknologi dari luar negeri, terutama dari negara-negara subtropis.

Apalagi mengadopsi teknologi TPA sampah kering dengan sistem sanitary landfill, yaitu mengelola sampah dengan cara mengeringkannya agar tidak menghasilkan air lindi (air kotor berbau yang berasal dari sampah) dan keluarnya gas tidak tekendali.

Dengan demikian sampah akan sulit terurai karena kondisinya kering. “Teknologi tersebut tidak cocok lantaran kondisi iklim di Indonesia berbeda dengan negara-negara subtropis,” ujar Hengky.

Negara-negara subtropis memiliki curah hujan kurang dari 600-800 milimeter per tahun, sedangkan di Indonesia sekitar 2.400 milimeter per tahun.

Artinya, bila di Indonesia menerapakan teknologi yang banyak dikembangkan di Amerika tersebut, maka jumlah air yang masuk bisa mencapai 4 kali lipat di tempat pengolahan.

Hal tersebut bisa mengakibatkan sulitnya me ngontrol air lindi dan gas yang dihasilkan dari proses penguraian sampah.

Teknologi generasi kedua yang dinilai masih belum dapat mengatasi permasalahan sampah maka dikembangkan TPA sampah basah dengan sistem biorekator sanitary landfill. TPA sampah generasi ketiga ini menerpapkan pengelolaan sampah dengan cara membasahi.

“Sampah yang basah mudah terurai sehingga gas yang dihasilkan volumenya akan bertambah banyak untuk keperluan pembangkit tenaga listrik,” ujar Hengky.

Selain itu, produksi air lindi dalam sistem ini diatur sedemikian rupa sehingga dapat disirkulasikan untuk membasahi sampah.

Bekesinambungan Kelemahan pengelolaan sampah mulai dari generasi pertama hingga ketiga, ketika sampah sudah penuh maka butuh lahan baru.

Sedangkan untuk mendapatkan lahan baru TPA sampah, itu bukan perkara mudah. Butuh persetujuan dari pemerintah daerah serta masyarakat di sekitar area TPA.

Selain itu, ketiga sistem tersebut akan memakan ruang cukup luas jika harus terus berpindahpindah ketika sampah sudah menumpuk. Maka munculah teknologi pengolahan sampah generasi keempat.

Teknologi yang diterapkan di generasi keempat ini, kata Hengky, tidak jauh berbeda dengan generasi ketiga. Hanya saja, setelah sampah dimanfaatkan gasnya untuk keperluan tenaga listrik maka sampah akan dikeruk lagi.

Jenis sampah organik dimanfaatkan untuk kompos, sedangkan sampah anorganik dimanfaatkan sebagai bahan bakar tenaga listrik. Untuk menyempurnakan pe ngolahan sampah generasi keempat, Hengki mengembangkan teknologi TPA sampah basah sistem reusable sanitary landfill (RSL).

Teknologi pengolahan sampah generasi kelima ini juga dilengkapi alat pemantauan gas dan pengatur air lindi.

Secara sederhana, kata Hengky, metode yang diterapkan RSL adalah pengisian dan pengosongan secara bergilir dalam suatu blok ruang.

Misalnya, bila TPA sampah tersebut memiliki tiga blok ruang pengolah sampah padat, ketika satu ruang terisi penuh sampah maka pindah ke blok ruang kedua, begitu seterusnya.

Bagi daerah yang sampai sekarang masih menerapkan sistem open dumping, kata Hengky, sebenarnya masih dapat direhabilitasi tanpa harus mencari lahan baru.

Misalnya, TPA sampah Bantar Gebang sebenarnya hanya perlu diperbaiki drainase air lindinya secara berkala.

“Bila suatu pemerintah daerah menerapkan sistem ini tidak perlu mengotak-atik tata ruang kota atau mengambil lahan daerah lain,” ujar Hengky.

Proyek percontohan RSL ini sudah dibangun di Kabupaten Bangli, Bali. Pembangunan TPA sampah Sarbagita ini telah disesuaikan dengan iklim di Indonesia.

Selain itu, proyek percontohan tersebut juga telah disesuaikan dengan pola konsumsi ma syarakat Indonesia secara umum.

Pasalnya, pola konsumsi yang berpengaruh dengan jenis sampah yang dihasilkan tersebut erat kaitannya dengan proses penguraian ketika ditimbun di suatu TPA sampah.

Timbunan sampah organik akan memengaruhi produksi sejumlah gas dan air lindi. Gas tersebut kemudian dimanfaatkan sebagai sumber tanaga listrik.
awm/L-4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gue

Gue